Kisah Tragis Mary I: Ratu Yang Tak Pernah Diinginkan

by Jhon Lennon 53 views

Halo, guys! Pernah dengar tentang Mary I dari Inggris? Yap, dia adalah salah satu figur paling kontroversial dalam sejarah Inggris. Ratu yang memerintah dari tahun 1553 sampai kematiannya di tahun 1558 ini meninggalkan jejak yang cukup kelam, terutama karena usahanya yang gigih untuk mengembalikan Inggris ke pelukan Katolik Roma. Kisahnya penuh drama, pengkhianatan, dan tentu saja, berakhir tragis. Yuk, kita selami lebih dalam yuk tentang kehidupan dan penyebab kematian Mary I yang bikin banyak orang penasaran.

Awal Kehidupan dan Perjuangan Mary I

Mary I, atau yang sering dijuluki "Bloody Mary" karena kebijakan agamanya yang kejam, lahir pada 18 Februari 1516. Dia adalah putri dari Raja Henry VIII dan Catherine dari Aragon. Nah, hubungan Henry VIII dan Catherine inilah yang jadi awal mula masalah besar bagi Mary. Ketika Henry VIII jatuh cinta pada Anne Boleyn dan ingin menikahinya, dia perlu membatalkan pernikahannya dengan Catherine. Masalahnya, Paus tidak mengizinkan pembatalan tersebut, yang akhirnya membuat Henry VIII memutus hubungan dengan Gereja Katolik Roma dan mendirikan Gereja Anglikan. Akibatnya, Mary, yang dibesarkan sebagai seorang Katolik taat, dianggap anak haram dan kehilangan haknya atas tahta. Bayangin aja, guys, seorang putri raja yang tiba-tiba dicoret dari garis suksesi, pasti rasanya hancur banget ya?

Selama masa pemerintahan kakak tirinya, Edward VI, yang seorang Protestan yang taat, Mary hidup dalam ketidakpastian. Dia terus-menerus diancam, dipaksa untuk pindah agama, tapi dia tetap teguh pada keyakinannya. Keberaniannya ini patut diacungi jempol, meskipun di sisi lain, keteguhannya inilah yang kelak membuatnya dijuluki "Bloody Mary". Setelah Edward VI meninggal, ada upaya untuk menempatkan Lady Jane Grey di tahta, tapi rakyat dan para bangsawan lebih memilih Mary. Akhirnya, Mary naik tahta pada tahun 1553, disambut dengan euforia oleh sebagian besar rakyat Inggris yang merindukan agama nenek moyang mereka.

Kebijakan Keagamaan yang Kontroversial

Begitu resmi menjadi ratu, Mary I langsung bergerak cepat untuk memulihkan Katolik di Inggris. Dia mencabut undang-undang keagamaan Protestan yang dibuat oleh ayah dan kakak tirinya, serta mengembalikan misa Katolik. Namun, usahanya tidak berhenti di situ. Untuk mengembalikan Inggris sepenuhnya ke bawah kekuasaan Paus, dia mulai melakukan penangkapan dan pengadilan terhadap para pemimpin Protestan. Ribuan orang dipaksa memilih: kembali ke Katolik atau menghadapi hukuman berat. Puncaknya, ratusan orang dibakar di tiang pancang karena menolak meninggalkan keyakinan Protestan mereka. Inilah yang akhirnya memberinya julukan "Bloody Mary", julukan yang terus melekat bahkan sampai sekarang.

Kita harus ngertiin juga sih, guys, di zaman itu, perbedaan agama itu bukan cuma masalah keyakinan pribadi, tapi juga masalah politik yang serius. Mary melihat Protestanisme sebagai ancaman terhadap stabilitas kerajaan dan otoritasnya. Dia percaya bahwa dengan mengembalikan Inggris ke Katolik, dia sedang menyelamatkan jiwanya dan jiwa rakyatnya. Tapi, cara yang dia gunakan itu, ya ampun, keras banget. Pembakaran orang hidup-hidup itu kan mengerikan ya. Jadi, nggak heran kalau banyak orang yang membencinya dan takut padanya. Perkawinannya dengan Philip II dari Spanyol, yang juga seorang Katolik yang taat, semakin memperkuat pandangannya dan menambah ketidakpercayaan rakyat Inggris yang sebagian besar sudah terbiasa dengan praktik keagamaan Protestan.

Akhir Kehidupan Mary I dan Misteri Kematiannya

Kehidupan Mary I tidak berjalan mulus. Selain menghadapi penolakan dari rakyatnya sendiri, dia juga mengalami banyak kesedihan pribadi. Pernikahan dengan Philip II tidak memberinya anak. Keinginan terbesarnya adalah memiliki pewaris untuk melanjutkan garis keturunannya dan memastikan Inggris tetap Katolik. Dia bahkan pernah mengalami kehamilan palsu yang memberinya harapan besar, tapi sayangnya, itu berakhir dengan kekecewaan yang mendalam. Beban politik, penolakan publik, dan kesedihan pribadi ini pasti sangat membebani mental dan fisiknya.

Pada akhir tahun 1558, Mary jatuh sakit parah. Ada beberapa teori tentang apa yang menyebabkan kematian Mary I. Salah satu teori yang paling umum adalah influenza atau demam yang menyebar luas pada saat itu. Gejalanya sangat parah, dan dia meninggal pada usia yang relatif muda, yaitu 42 tahun, pada tanggal 17 November 1558. Di ranjang kematiannya, dia menyerahkan mahkota kepada saudara tirinya, Elizabeth, yang kemudian menjadi salah satu ratu paling terkenal dalam sejarah Inggris. Ironisnya, Elizabeth adalah seorang Protestan yang kuat, dan dia membatalkan semua kebijakan keagamaan Mary, mengembalikan Inggris ke jalur Protestanisme untuk selamanya.

Spekulasi lain tentang kematiannya termasuk keracunan, baik disengaja maupun tidak, atau bahkan komplikasi dari kehamilan palsunya yang berulang. Namun, bukti medis yang tersedia lebih mendukung teori penyakit menular yang umum pada masa itu. Apapun penyebab pastinya, kematian Mary I menandai akhir dari upaya pengembalian Katolik di Inggris dan awal dari era baru yang gemilang di bawah pemerintahan Elizabeth I. Kisah Mary I adalah pengingat yang kuat tentang bagaimana keyakinan agama, politik, dan ambisi pribadi dapat membentuk jalannya sejarah, seringkali dengan harga yang sangat mahal.

Warisan 'Bloody Mary'

Ketika kita ngomongin Mary I, sulit banget buat nggak inget julukan "Bloody Mary" yang melekat erat padanya. Julukan ini tentu saja berasal dari kebijakan represifnya terhadap kaum Protestan. Ribuan orang disiksa, dipenjara, dan yang paling mengerikan, dibakar di tiang pancang. Gereja Katolik Roma, yang coba dia tegakkan kembali, malah jadi simbol ketakutan dan kekejaman bagi banyak rakyat Inggris pada masanya. Tindakannya ini membuat citranya di mata sejarah menjadi sangat negatif, bahkan sampai sekarang. Sebagian besar buku sejarah akan menggambarkan dia sebagai sosok tiran yang haus darah, sosok yang dibenci oleh rakyatnya sendiri.

Namun, penting juga buat kita untuk melihat Mary I dari sudut pandang yang lebih luas, guys. Dia hidup di zaman yang penuh gejolak agama dan politik. Perang agama berkecamuk di seluruh Eropa, dan Inggris tidak luput dari dampaknya. Mary percaya bahwa dia sedang melakukan apa yang benar untuk menyelamatkan kerajaannya dan jiwanya, sesuai dengan keyakinan Katoliknya yang mendalam. Dia juga menghadapi banyak rintangan, mulai dari penolakan rakyatnya, ambisi politik suaminya, Philip II dari Spanyol, hingga ketidakmampuannya memiliki pewaris. Semua ini pasti membebani dirinya secara emosional dan fisik.

Warisan Mary I adalah pengingat akan kompleksitas sejarah. Dia bukan sekadar ratu jahat seperti yang sering digambarkan. Dia adalah seorang wanita yang berjuang keras untuk keyakinannya dan kerajaannya di tengah situasi yang sangat sulit. Kematiannya pada usia 42 tahun, kemungkinan besar karena penyakit, mengakhiri era penuh gejolak di Inggris dan membuka jalan bagi pemerintahan saudaranya, Elizabeth I, yang akan membawa Inggris ke masa keemasan. Kisah Mary I mengajarkan kita bahwa sejarah seringkali abu-abu, bukan hitam putih, dan setiap tokoh memiliki cerita yang lebih dalam daripada sekadar julukan yang mereka dapatkan. Jadi, lain kali kalian dengar nama "Bloody Mary", ingatlah bahwa ada lebih banyak cerita di baliknya daripada sekadar reputasi buruknya.